Bagaimana Cara Minggat dari Kelas

insideagiantseye
6 min readJun 5, 2021

--

Hmmm sekarang jam sebelas siang. Di kelas, orang-orang bergantian menguap. Mata mereka setengah terbuka dan serempak, sebelah tangan masing-masing orang menopang dagu buat menahan kepala supaya tidak ambruk ke meja. Bahkan, beberapa menyerah pada malam yang kurang tidur dan narasi dari depan tentang, apa itu, oh “Back Door Java”, buku etnografi yang bahkan tidak satupun ada yang membaca, mengalir dari mulut Budi, bu dosen Antropologi. Orang-orang itu, yang menyerah, di belakang, melepaskan hasrat tidur yang sangat kuat, menghempas sepertiga bagian atas badan mereka ke meja. Pelan-pelan penghuni tempat duduk belakang itu menghilang dari kelas, kesadaran mereka tuntas. Jauh, jauh sekali.

Di kursi paling kanan, aku duduk bersebelahan dengan dinding dan seorang anak perempuan penggemar budaya pop Jepang, namanya Bibi. Di sebelah Bibi ada tiga orang teman-temanku, teman-teman fungsional, kau tahu, teman-teman yang, pokoknya, setiap orang butuh orang-orang dengan peran seperti itu di kelas supaya tidak rentan-rentan amat. Ketiganya sedang mengoper nguap dari mulut ke mulut.

Rasanya aku juga akan padam sebentar lagi. Tapi sesaat setelah kepalaku terangguk naik turun, Bibi mencubit lenganku. “Bangun.”

Aw!

Ada yang salah dengan Bibi, aku yakin. Semua orang sepakat kelas siang ini menjemukan, tapi dia tetap segar, seperti tidak punya masalah dengan tugas praktik dan tidur malamnya. Oh tentu, tugas proyeksi membuatku gila. Ini agak menyedihkan, sebenarnya, menggambar still life (menggambar dengan contoh bentuk aslinya) yang selama ini membuahkan hasil yang baik di kertas, sedikit-sedikit membuatku percaya tentang kemampuanku. Sedangkan di mata kuliah itu, aku bukan lagi diminta meniru, tapi merancang bentuk. Heh dikiranya aku cukup bermodal sehingga tidak buta ketika dihadapkan hanya pada kertas. Segera, aku yang lumpuh dalam merancang, mengimajinasikan ruang, dituntun menemukan paradoks antara keberadaanku di seni rupa dan kemampuan menggambarku yang seperti setan di dunia: tidak ada.

Lupakan itu. Tentang Bibi, meskipun dia baru saja menyakitiku, aku menyukainya. Dia baik dan familiar. Aku suka orang-orang familiar, mereka mengupas canggung yang seakan-akan selalu meliputi diriku.

Aku menyogok Bibi dengan permen mint, “jangan cubit aku lagi.”

Dia mengedarkannya lagi pada anak perempuan di belakangnya karena katanya, dia tidak makan permen. Aku tidak tahu tentang itu.

“Jangan cubit aku lagi.”

Bibi menulis materi. Memaksa seluruh kata-kata dari pancaran proyektor terjiplak di bukunya. Kubetulkan posisi duduk, tapi aku tidak berhasil menemukan kantukku kembali. Keadaan ini sangat membuatku bingung menaruh pandang. Sungguh, meski kutahu kubutuh, tata cara membuat tulisan etnografi di layar ini tidak menarik mintaku. Jadi kubenturkan mataku pada dinding. Dinding yang berlubang kecil-kecil.

Tidak kuhitung, sih, tapi mungkin ada 199 (mungkin juga 299) lubang berdiameter sama dengan spidol papan tulis yang secara berulang disusun sehingga kesemuanya membentuk pola bujur sangkar. 199 lubang itu diulang lagi berkali-kali hingga memenuhi seluruh ruangan. Iya, fungsinya untuk mengedap suara. Jadi untuk apa sebuah ruangan yang memuat kelas dengan mahasiswa-mahasiswa yang kurang tidur dibuat jadi demikian? Yang jelas bukan menahan suara yang keras agar tidak bocor karena suasana kelas selalu sunyi (sesi mendengarkan materi berarti tercenung. Kalau kelas praktik berarti menggambar yang juga diawali dengan tercenung). Jelas bukan juga melindungi rahasia sebab tidak ada rahasia kolektif, yang ada cuma keluhan-keluhan yang tenang soal utang tugas minggu lalu yang niat mengerjakannya belum kelihatan.

“Jangan bengong, Kurap. Nulis sana, biar nggak ngantuk.”

Kuperhatikan Bibi. Bicara apa, sih, dia?

“Bibi, mending kamu kasih aku rekomendasi anime buat ditonton abis ini aja, deh.”

Bibi memandangku. Aku yakin dia juga bosan, tapi di kelas, dirinya dipenuhi berbagai sangkalan. Aku tahu dia tidak ingin mencatat. Aku tahu dia ingin kembali ke buku sketsa dan membuatkan serial favoritnya beberapa fan art. Bibi menempelkan tangan kanannya ke dinding, menahan bobotnya, menyebrangi pandanganku, kemudian iseng-iseng dimasukkannya pulpen ke salah satu lubang kecil di dinding.

Pulpennya tidak tenggelam dalam, paling hanya seperlima dari panjangnya sebab di lubang-lubang kecil itu, masih ada semacam lapisan spons, seperti pada semua dinding kedap suara yang terbuat dari gypsum.

“Crop, crop…” Bibi berbunyi, dia menusuk-nusuk sponsnya.

Tangannya yang naik turun mengganggu pandangku, maka daging itu berusaha kuturunkan.

“Crop, crop, crop.” Bibi melanjutkan usaha menjebolnya. “Sedikit lagi,” katanya.

PLUK. Itu suara styrofoam yang berhasil dibikin bolong. Aku menatap Bibi.

Dan seperti sisa es teh yang disedot kencang-kencang,

SLURRRPP.

Bangku di sebelah kiriku seketika kosong, bekas pantat masih tercetak di busa hitamnya. Bibi hilang. Sepersekian detik barusan aku sepertinya melihat dia berubah jadi kabut. Terisap ngebut-ngebut.

Kutekan wajah ke dinding dan sebelah mata kusipitkan supaya fokus ke satu lubang. Tercium aroma debu dari lubang yang beberapa saat lalu diusik Bibi. Dan oh…. ada dia di sana. Sedang duduk sendirian.

Aku tidak menyukai kelas ini. Serius, aku sangat bosan. Meskipun rekan-rekan sekelasku juga kelihatannya tidak, aku tidak benar-benar tahu perasaan mereka. Bagaimanapun, aku hanya menempati ruang dalam tubuhku dan tidak merasakan apa yang mereka rasakan. Gampangnya, aku lebih peduli pada pikiranku sendiri.

Mulanya teman-teman fungsionalku, aku meminta mereka memasukkan jari ke lubang yang diinisiasi Bibi. Mereka mengantuk dan menurut. Ketika mereka bertanya jari telunjuk atau kelingking, aku mengusulkan jari tengah. Alasannya karena dia paling panjang dan ada banyak kemungkinan untuk tenggelam.

Mereka melakukannya. Seperti Bibi, ketiganya tersedot ke sana. Lalu aku mengundang anak perempuan lainnya. Motifnya adalah minta tolong. Dan karena anak-anak ini selalu kelihatan bersemangat menolong, termasuk merelakan tempat mereka berada, permintaan tolongku dipenuhi. Anak-anak itu mengantre untuk menunggu giliran.

Sudah 14 anak menjadi kabut dan dihirup dari dalam. Lama-lama proses pengisapan yang singkat itu kedengaran menyenangkan. Suaranya seperti yang sering kudengar di kantin dari sedotan orang-orang yang menyangkal kenyataan bahwa minuman mereka sudah habis.

Anak-anak perempuan itu tinggal sedikit di sini, antrian harus dilanjutkan dengan anak laki-laki. Tapi sayangnya, banyak di antara mereka sedang pulas dan aku baru saja didatangi perasaan tidak enak sebab kelas belum selesai. Jadi aku meminta bantuan Fredika yang sedang menggambar, membendung rasa bosan.

“Fredika.”

“Hmm?” Sautnya tanpa menoleh.

“Aku tahu sih kelas belum selesai, tapi kamu mau nggak bangunin orang-orang?”

“Buat apa?” Fredika mengarsir tanduk unicorn yang dia gambar.

“Aku cuma berpikir ide memasukkan orang-orang ke dalam lubang itu boleh juga.”

“Hmm.”

“Jangan cuma ham hem, aku lagi minta tolong.”

“Kamu selalu percaya idemu.” Dia menghentikan gambarnya.

“Terus aku harus percaya idenya siapa? Ide kamu? Ide Bibi?”

“Enggak juga, aku nggak punya ide. Liat, yang aku punya cuma unicorn ini dan arsirannya yang aduh, alusnya… Oh iya, Bibi, ngomong-ngomong mana dia?”

“Udah duluan.”

“Ke mana?”

“Ya elah, masuk lubang itu lah.”

“Alah, Kurap!”

“Cepet, Fredika.”

“Kenapa nggak bangunin sendiri?”

“Aku ngerasa nggak enak.”

“Kamu pikir aku enak?”

Fredika menutup buku sketsanya. Menarik bibir, menyeret wajahnya hingga tersunging lalu bangkit dan membangunkan anak-anak. Mereka bangun, mengira kuliah telah usai.

Mumpung kantuk mereka belum bubar, dibantu Fredika, aku menggiring mereka menyerahkan dirinya ke dalam lubang. SLURRPP. SLURRRPP. Suaranya menghibur. Berulang-ulang dan tetap menghibur. Hingga yang tersisa di ruangan tinggal aku, Fredika, dan Budi yang tidak henti-hentinya menjelaskan materi.

“Kamu punya pilihan,” kataku pada Fredika.

“Aku ingin masuk juga.”

“Oke, deh. Pasrahkan dirimu.”

“Bye.” Fredika jadi kabut dan terseruput.

Di depan kelas, Bu Dosen baru saja menyelesaikan penjelasannya, rupanya. Seperti biasa, sebelum beralih ke materi selanjutnya, dia membuka sesi tanya.

“Sejauh ini, ada yang mau ditanyakan?” katanya.

Dari tempat duduk, aku mengangkat tangan.

“Siapa?”

“Kurap.”

“Pertanyaannya?”

“Saya nggak punya pertanyaan, Bu. Tapi banyak sekali pertanyaan di dalam sini,” tanganku menyapu dinding di sekeliling lubang, mengelap debu tempat Bibi dan anak-anak lainnya menunggu.

“Di mana?”

Aku meraih lengan Budi dan menuntunnya menuju dinding.

“Ibu siap-siap, ya.”

SLUUURRRPP

Hening. Beres. Asyik, sekarang ruangan benar-benar kosong dan kelas Antropologi benar-benar bengong. Baru jam 11.41, Waktunya pulang. Saatnya membuka sesi bengong baru di kosan! Dan selagi aku berjalan riang, kelas Antropologi tetap berlangsung di dalam lubang, kedap suara, dan tidak terusik siapa-siapa.

Bantul, April 2019

--

--

No responses yet