Cita-cita Kurap
Tetanggaku, seorang buruh muda di Nikomas pabrik sepatu, meninggal dua hari yang lalu karena seekor ular kecil yang dia temukan di belakang mesin air. Dia sempat pamer kepada teman-temannya tentang ular itu. Beberapa teman yang waras mewanti-wanti, kalau sebagian jenis ular, seperti ular tanah, bisa berbahaya. Si pemilik ular tetap menyimpan ularnya, tapi mengangguk, tapi tetap menyimpan ularnya.
Dari yang kudengar, si pemilik ular kembali sesumbar kalau si ular sudah menggigitnya. Katanya, seperti ukurannya yang kecil, rasa sakit akibat ular itu juga bukan apa-apa. Seperti digigit semut. Seperti omong kosong mantri yang menyunatnya dulu.
Tidak ada acara pamer lainnya dari tetanggaku itu karena dua jam setelahnya, sayup-sayup dari musola, kudengar berita duka. Buruh sepatu dan ularnya mati, di suatu sore waktu dia sedang ngopi. Si pemilik mati karena dipatuk ular, sedangkan ularnya mati karena dibakar hidup-hidup, oleh api dan keputusasaan seluruh keluarganya yang menggantungkan hidup pada si buruh sepatu.
Membicarakan bagaimana cara mati, aku membenci kematian yang tiba-tiba seperti itu. Sebagian orang berpikir cara mati demikian adalah cara mati yang paling ringan sebab akan lebih sebentar rasa sakit yang diderita. Ya, secara hitung-hitungan, memang. Tapi itu mengejutkan. Masalahnya, aku tidak suka dikejutkan, orang-orang di sekelilingku juga tidak. Setidaknya perlu ada pertanda bahwa seseorang harus berhenti mengusahakan hidup karena dia harus pergi. Ke entah berantah. Atau tidak kemana-kemana.
Pamanku, seorang nelayan, dikabarkan mati tidak lama setelah dia menyalakan mesin kapal dan pergi melaut. Dia serta perahunya digulung arus dan dicemili ikan-ikan. Waktu kelas 2 SMK, teman sekolahku mati disengat listrik bertegangan tinggi waktu diminta memasang CCTV, badannya kaku dan kelopak matanya macet. Kematian-kematian itu begitu mendadak. Kalau aku, sih, ingin mati di kursi malasku, di umur 80, usia yang bulat pada pagi tenang sambil diiringi musik Lo-fi, kalau masih zaman.
80 tahun kedengaran begitu panjang. Bukan, bukan karena aku mencintai hidup atau telah kurencanakan masa depan yang baik. Penyebabnya cuma karena aku tidak punya alasan buat mati. Lihat sekarang, aku pengangguran. SMK akhirnya menyingkirkanku dari rasa aman kebergantungan ke desakan rumah untuk mencari pekerjaan. Dua tahun berlalu sejak omongan pertama soal ini dari ibuku. Terjadi eskalasi dari nada yang lembut dan penuh pengertian sampai gebrakan di pintu kamarku yang menyebabkan bagian sampingnya rompal waktu aku sedang asyik membunuh pemain lain di PUBG. Rasa gerah ibuku tidak membuatku frustrasi, aku membabat lebih banyak pemain. Tidak ada alasan untuk mengakhiri hidup.
Biar begitu, aku percaya manusia butuh bekerja. Maksudku, bekerja tidak hanya dilakukan demi menghasilkan uang supaya mendapatkan makan dan pakaian. Di tahap lain, manusia butuh merasa berguna, pekerjaan berubah bentuk sebagai aktualisasi diri dan usaha mengobati krisis eksistensi. Sebab kalau tidak bekerja, kita semua akan mati bosan. Alasanku belum bekerja? Aku tidak tahu bagaimana memulainya.
Akan tetapi, kadang, pekerjaan yang satu tidak sama memuaskannya seperti pekerjaan yang lain. Karena terbatasnya pilihan, keadaan banyak orang tidak mengantarkannya ke pengertian itu sehingga orientasinya hanya materi. Buat bekerja, mereka yang dilingkupi kesulitan harus dijerat rasa lapar dulu. Dan sekarang, kalau aku tidak kunjung memperoleh pekerjaan, sebentar lagi juga akan terlempar jadi bagian dari mereka.
Aku tidak tahu ingin punya pekerjaan seperti apa. Tapi aku tahu aku tidak ingin bekerja sebagai apa. Aku tidak suka menunggu, jadi aku tidak ingin bekerja sebagai orang yang menunggu. Aku memandang iba pada penjaga toko karpet, satpam di gerbang, penjual buku-buku tua di pasar loak, ojek online yang mengantar makanan dan terlebih, penjaga palang rel kereta api.
Aku tidak tahu ingin punya pekerjaan seperti apa. Tapi dua hari setelahnya, aku sudah duduk di bilik kecil tepi rel kereta, tercenung.
Setelah dua hari pelatihan, aku dilepas sendirian buat menjaga lintasan kereta Sumur Pecung, lintasan Merak-Rangkasbitung. Soal bagaimana aku bisa duduk di sini, mengamati rel yang disengat matahari pukul dua adalah karena seorang tetangga sekaligus ibu dari teman SMK-ku ikut campur. Dia mengetuk pintu rumahku habis ashar dan dengan menggebu-gebu menyampaikan pada ibu bahwa ada lowongan untuk menjaga palang kereta. Anaknya sudah ikut, dan sebaiknya si pengangguran Kurap juga didaftarkan saja. Ibu terhasut, tidak ada acara adu mulut mengutarakan ide nyemplung ke dunia e-sport karena aku paling payah berdebat. Kemudian, gampang, anjuran tanpa perlawanan itu akhirnya mendudukanku di sini, sebuah ruangan 2 x 2 m dengan kamar mandi.
Karena rute kereta antarprovinsi tidak sampai sini, jalur lintasan yang kujaga tidak begitu ramai. Yang berlalu di atasnya cuma kereta lokal. Pekerjaannya mudah, setiap kali kereta berjarak 1 km dari jalan raya, palang harus diturunkan. Tombol-tombolnya juga sederhana; buka, tutup, dan stop. Terdapat telepon, jadwal, dan LED arah kedatangan kereta. Selain palang, di luar ada genta, sirine, rambu-rambu, dan papan peringatan.
Waktu kerjanya 8 jam dan selama itu aku dilarang meninggalkan gardu jaga. Harus kukatakan, pekerjaan ini tidak mensyaratkan bakat, jauh dari memuaskan, dan aku tidak merasa berguna-berguna amat sebab kalaupun bukan aku yang duduk di sini, siapapun bisa melakukannya. Menjadi diriku saat ini adalah hal yang sangat-sangat-sangat membosankan.
Hampir 2 minggu aku menjalankan pekerjaan baruku. Sejauh ini, belum ada orang yang tulang-tulangnya remuk digilas baja kereta. Cuma kemarin seorang remaja cowok dengan NMAX menerobos palang, melintas tepat beberapa detik sebelum kereta lewat, membuat jantungku ngilu dan kebosananku terhadap pekerjaan berkurang 0,5 b (satuan bosan). Membayangkan kematian orang lain secara mendadak yang membuatku takut kalau sewaktu-waktu sakit perut menyergapku sehingga aku lalai, juga mengurangi kebonsananku. Lalu satuan bosan itu terus berkurang sejumput demi sejumput karena sekarang aku punya pacar.
Bekerja dari pukul 6 pagi sampai 2 siang, kusalurkan hasrat bertahanku di PUBG setelahnya. Rupanya karena sekarang aku bukan pengangguran dan tidak lagi dibayangi rasa bersalah, aku jadi lebih menikmati tiap ronde permainan. Berkat itu, di suatu kesempatan random pairing, aku mendapatkan pacar pertamaku. Dia asyik, rambutnya harum. Kami akhirnya jalan dan mengobrol banyak soal keberadaan, dadaku lega dan jadi kurang risau. Selanjutnya hari-hari seru (bekerja, main PUBG, pacaran). Sekarang kalau dilihat-lihat, menjadi penjaga palang kereta tidak begitu buruk. tidak ada alasan buat mati, aku mulai memikirkan cita-cita.
Hari kelimabelas bekerja. Aku bukan orang yang suka menandai sesuatu, tapi ini mudah dihitung karena hari pertamanya adalah tanggal satu. Baru pukul sebelas, siang sudah terik. Kucing hitam melewati rel, menggondol tahu. Sejak kapan kucing makan tahu? Kereta terdekat masih setengah jam lagi. Terbayang pacarku, rambutnya yang harum, suaranya yang lembut. Aku sangat ingin menelponnya tapi aku tahu percakapannya tidak akan kubiarkan berhenti. Kuputuskan untuk mengiriminya pesan saja. Berisi ajakan, ayo nanti sore kita pacaran.
Helm-helm pengendara motor berkilauan diusap cahaya. Sebuah angkot yang sepertinya dicarter memanggul sepeda baru di atasnya. Aku ingin sepeda baru. Tapi pertama-tama, aku ingin kembali jadi anak kecil dulu. Aku ingin luapan kebahagiaan yang sudah lama tak kurasakan. Oh ada balasan dari pacarku, ia mengiyakan, sekarang inilah luapan yang kumiliki.
Seorang bapak-bapak, berkaus rombeng, berkali-kali tengok kanan kiri sebelum membawa motornya melintasi rel. Apa yang membuatnya segitu takut mati? Dia tua. Dengan motor bebek yang lehernya kurus dan lilitan kabelnya kelihatan, kupikir dia juga tidak kaya. Apa dia amat menyukai istrinya seperti aku menyukai pacarku? Bapak itu berlalu. Motornya goyang-goyang seperti bokong entog.
Dua menit lagi palang harus diturunkan, kereta mau datang, tapi tiba-tiba perutku dimasuki mulas dari dalam. Tanganku memeras telepon, memeras celana, menyalurkanya pada benda. Kupandangi lalu lalang kendaraan, mencoba memusatkan pikiranku pada sesuatu. Tidak ada yang berhasil, aku tergoda buat menyambar pintu kamar mandi dan melepaskan rasa sakit. Janji, tidak sampai dua menit. Ah, bullshit. Waktuku buat buang air selalu dikalahkan nasi di rice cooker yang selalu lebih cepat matang. Tangan lututku lemas. Tinggal satu menit lagi. Ayolah.
Waktu terasa merangkak. Dan ketika rasa sakit sampai pada ujungnya, yes! Saatnya menekan tombol. Tutup! Palang turun, motor dan mobil melambat. Aku sudah tidak tahan lagi, pintu kamar mandi mengatup dan akhirnya, akulah di dalamnya. Waktu aku melepas pertahanan, kereta melintas, desingnya mengguncangkan seluruh kamar mandi. Kukeluarkan isi perutku, orang-orang bisa menunggu. Ular itu bisa menunggu.
Segera teringat olehku kematian-kematian itu. Siapa kira ada seekor kobra meliuk-liuk dari sudut kamar mandi. Aku yang terkejut melompat dan malah menginjak ekornya. Kobra itu sama terkejutnya dan dengan kilat mengantuk betisku. Aku loncat-loncat, terbentur, berteriak, nyerinya tak terbilang. Sementara suara kereta masih berat menggetarkan sekitar. Hanya aku dan kobra, terjebak di kamar mandi yang terkunci di bilik jaga. Satu patukan lagi dari si ular lalu tak lagi ada teriakan.
Kereta berlalu. Aku dan ular saling berdiam diri setelahnya. Tidak tahu juga kenapa dia tidak kembali ke lubang lantai tempatnya berasal sebelum orang-orang menemukannya, menemukanku. Salah seorang pengendara, yang lajunya kutunda, mendatangi gardu dengan perasaan jengkel terhadap penjaga lalai di hari sibuk yang panasnya menyengat. Pasti dalam hati dia ingin bilang, angkat palangnya, setan. Sisanya menerobos, beberapa kelewat malas turun dari kendaraan. Pengendara itu tidak menemukanku, cuma mendapati pintu kamar mandi yang terkunci. Orang-orang lalu berkerumun dan di sanalah mereka temukan si penjaga lintasan dan malaikat mautnya sedang berduaan.
Seperti tetanggaku yang pernah kuceritakan, aku mati dipatuk ular. Beberapa waktu berlalu sejak hari itu. Ibuku mengiklaskanku. Pacarku mendapatkan pacar baru. Dia berulang-ulang menceritakan pada siapapun yang ditemuinya tentang kematianku dan menyanjungku yang sempat menutup palang, mantan pacarku menyelamatkan orang-orang. Sekarang, kalau dilihat-lihat, mati oleh seekor ular juga tidak begitu buruk.
2019–2020