Happy Girls Don’t Cry: Balada Hadiah dalam Drama Keluarga Kelas Bawah

insideagiantseye
7 min readJul 8, 2022

--

Film pendek ini bercerita mengenai sebuah keluarga yang baru kehilangan anak bungsu dan dilanda utang. Saat debt collector tiba, anak sulung menolak menjual hadiah giveaway-nya dan konflik pun tak terhindarkan.

Adin, (Arawinda Kirana), 19 tahun, langsung menyeret iMac-nya pergi setelah tanpa disangka, ibunya (Marissa Anita), melayangkan tamparan di wajahnya. Bapaknya (Teuku Rifnu Wikana), tidak menghalang-halangi, justru ia yang mengusir anaknya pergi. Dia murka Adin bersikeras menolak menjual amek (pelafalan keluarga mereka untuk iMac) meski penagih utang sudah nangkring di muka rumah. Adin grasa-grusu keluar pintu, lalu tak lama, JEDERRRRR, ada komedi: Adin dan amek kesayangannya terpental ditubruk nasib buruk berwujud pengendara motor bebek random.

Menerjang permohonan orang tua kemudian langsung ditabrak motor, apakah ini azab? Apakah Adin, jagoan kita dalam Happy Girls Don’t Cry, telah bersikap kurang ajar?

Sebelum memutuskan apakah Adin pantas disebut anak durhaka, mari kita lihat konteks lain dalam cerita. Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita soroti dari film pendek garapan sutradara Aco Tenriyagelli ini.

Pertama, Adin yang Terpapar Potret Hidup Orang Kaya

Eksploitasi Berkedok Giveaway

Tak lama setelah adegan pembuka, kamera menampilkan Adin bersama HP-nya. Di sini, Adin langsung mengakses vlog dari channel Kak Sultan. Konten itu sedang membujuk penontonnya untuk mengikuti giveaway dengan mengirim vlog submission. Meski sering kalah, Adin pantang menyerah. Dia rekamlah keadaan rumahnya yang sesak seraya tak lupa menyebutkan kematian adiknya yang direnggut Covid-19. Cara Adin bercerita melalui kamera HP ini mirip dengan acara–meminjam istilah Remotivi–sirkus kemiskinan di layar kaca, program seperti Orang Pinggiran (Trans7) dan Bedah Rumah (Global TV). Reality show tersebut dan vlogging Adin memiliki kesamaan: demi mendulang keuntungan bagi orang kaya, orang miskin diminta mengorek derita mereka sendiri.

Setelah kemiskinan dan dukanya secara tidak sadar dieskploitasi oleh seseorang dengan taraf ekonomi di jauh di awang-awang, gadis itu memperoleh giveaway pertamanya: sebuah amek. Pemilihan brand dan produknya juga memotivasi Adin. Kak Sultan (YouTuber favorit Adin) mungkin tahu betul bahwa amek merupakan alat buat subscriber-nya mendefinisikan harkat diri melalui serpihan kemewahan. Dan Adin, anak keluarga kelas bawah, berhasil memperoleh serpihan itu berkat usahanya. Lalu sutradara menampilkan kontras yang mencolok ketika barang itu sampai. Komputer gres (meminjam istilah Bapak) tersebut tampak lian berada di antara sofa belel dan kipas angin yang mau copot kepalanya. Kita dibuat tidak nyaman melihatnya.

Tak lama, konflik pecah karena Bapak ingin barang tersebut dipakai membayar utang. Menyamar sebagai kemurah-hatian orang berada, amek tiba di ruang tengah justru menjelma pemicu huru-hara keluarga.

Kemudahan Akses

Dari percakapannya dengan Adek (ikan cupang), kita diberitahu bahwa menonton vlog merupakan bagian dari keseharian Adin. Hal tersebut tidak jauh dari keseharian kita, bukan? Selain karena tawaran kontennya, YouTube sangat mudah diakses. Dan untuk menonton vlog, hanya dibutuhkan satu sentuhan kulit jari kita pada layar untuk memasuki kehidupan seseorang yang sama sekali lain, persis seperti yang dilakukan Adin. Setelah mendapati bapaknya ditodong debt collector dan dia kedapatan apes digoda jamet di samping rumahnya sendiri, Adin menemui satu bingkai yang gemerlap di antara remang biru kamarnya. Bingkai itu memuat Kak Sultan bersama charms serta keleluasaan finansialnya, sesuatu yang jauh dari realitas yang dia miliki: gang tempat dia di-cat-call sekaligus tinggal, lilitan utang Bapak, serta kesulitan ekonomi keluarga. Semuanya hanya dengan satu sentuhan saja.

Online Self-disclosure

Pertanyaannya, meski sering gagal mendapat giveaway, kenapa ya Adin tetap rajin menengok vlog YouTuber itu? Mungkin magnet tersebut adalah self-disclosure, upaya pendekatan, yang difasilitasi oleh media sosial. YouTube menjadi sarana bagi influencer membangun hubungan dengan para subscriber-nya. Hubungan itu nantinya berguna untuk menghasilkan rasa percaya.

YouTube tampaknya adalah media yang sangat subur untuk membangun online self-disclosure. Dibandingkan televisi yang lebih kaku, media dengan tagline broadcast yourself ini jauh lebih fleksibel memuat konten personal. Vlogger bisa menuangkan sedikit masalah pribadi atau tak tanggung-tanggung, menumpahkan semuanya seperti Ria Ricis dalam video Rumah Baru Papa, liputan suasana di kuburan mendiang ayahnya. Para vlogger seolah mampu mengisap viewers masuk dalam kehidupan mereka melalui kerapuhan yang mereka tampilkan.

Tidak hanya itu, self-disclosure juga dipupuk melalui fitur kolom komentar, event giveaway, dan latar pengambilan video. Pernah memperhatikan tempat yang dijadikan latar ketika vlogger bercerita masalah pribadinya? Ditemukan bahwa saat melakukan pembukaan diri, elemen self-disclosure yang lain, vlogger memilih tempat privat seperti di dalam mobil dan kamar tidur. Begitu juga lokasi si pengakses, Adin. Barangkali karenanya, muncul perasaan terkoneksi di situ.

Namun, perasaan ini muncul bukan karena Adin tak punya kesadaran kelas. Dia cukup peka kok, ditunjukan dengan keluhannya pada Adek “Nih yah, kita kan nonton pake kuota. Terus mereka dapet duit dari iklan……. Mereka tuh tambah kaya, kita tambah miskin.” Akan tetapi, menyoroti kelekatan Adin pada konten vlog, bisa jadi kesadaran itu belum mampu menembus ilusi keterhubungan yang tebal di kamarnya.

Fase Remaja

Sebagai remaja dengan akses internet, Adin memiliki kerentanan yang tidak dapat dilihat Bapak dan Ibu. Fase usianya merupakan alasan kenapa vlog YouTube jadi bagian penting dalam hidupnya. Konten vlog memungkinkannya mengalami pergulatan identitas, termasuk identitas kelas. Dengan tawaran mengintip dunia lain yang tak Adin miliki, influencer dapat dengan mudah menembuskan pengaruhnya. Masih karena usia, resiliensi Adin mempertahankan hadiahnya juga terjelaskan. Rupanya, remaja late adolescene (17–20 tahun) yang merupakan kelompok usia Adin, memang memiliki tendensi bersikap egois. Apalagi terhadap kebaruan, dalam kasus ini, yaitu mendapat giveaway pertamanya.

Melihat semuanya memusar pada pengalaman Adin, kita jadi ingin menuduh Kak Sultan memanfaatkan kerentanan penontonnya untuk engagement dan uang. Tapi benarkah demikian? Bagaimana kalau sebenarnya Kak Sultan semata-mata cuma membutuhkan ruang ekspresi diri karena dia juga manusia seperti kita? Mungkin kok, tapi kalau itu semua kita lepaskan dari konteks kesenjangan sosial, ilusi kedekatan, dan kerentanan remaja yang melingkupi gadis amek ini.

Duka Keluarga, Duka Adin

Adin, Ibu, Bapak, ketiganya sedang berkabung. Adek, anak bungsu di keluarga belum lama meninggal akibat mitigasi buruk Covid-19. Hal ini juga dialami ratusan ribu keluarga lainnya di Indonesia. Waktu itu, mereka baru saja kehilangan orang tersayang. Namun, duka yang masih segar dengan segera ditelan oleh gulungan utang. Bagi keluarga Adin, kemalangan itu diperparah oleh sentimen tetangga, terdapat gosip bahwa keluarga yang tersisa mungkin menularkan virus yang sama.

Karena delivery film ini komikal, Adin dibekali caranya sendiri buat menuturkan dukanya pada kita, yaitu melalui tokoh ikan cupang. Dalam banyak adegan, Adin melihat si cupang sebagai Adek. Adin memanggil cupang dengan sebutan “Dek”. Cupang itu meladeninya dengan suara Adek yang bisa jadi merupakan rekaan Adin sendiri, karena di akhir, kita diberi tahu bahwa Adek bisu. Mungkin saja ini bentuk halusinasi orang yang ditinggalkan, yaitu perasaan bahwa seseorang yang telah meninggal hadir bersama kita. Biasanya, ini terjadi bersama perasaan melihat maupun mendengar. Atau adegan ini juga bisa dilihat sebagai bentuk rasa kehilangan mendalam yang dialami Fleabag (2016). Di sana, Fleabag bicara menatap kamera seolah tengah bicara pada sahabatnya yang tewas.

Hubungannya duka dengan ribut-ribut keluarga adalah, bagaimana kalau ternyata Adin mempertahankan amek bukan karena ego remajanya belaka? Bagaimana kalau selain prestise dari hal materiil, buat Adin amek juga merupakan sesuatu yang sentimentil?

Bayangkan, setelah ratusan GB kuota dan luapan rasa kabibita (kepingin), akhirnya, penantian Adin dan Adek berbuah. Adin merujuk hadiah ini sebagai pencapaian bersama dengan bilang “Ini kan hasil usaha Kakak sama Adek!” ketika bapaknya mencoba merebut amek dari tangannya. Dalam drama Move to Heaven (2021), petugas kebersihan kamar orang mati biasanya menyisihkan benda-benda penting mereka. Buat Adin benda tersebut adalah cupang dan amek yang–meskipun datang belakangan–tetap menguarkan perasaan yang sama. Amek bisa jadi merupakan monumen Adin buat mengenang hari-hari menanti giveaway bersama Adek ketika bau kematiannya belum terendus.

Adin dan Relasi Keluarga yang Jemping

Di tengah tekanan ini, bagaimana sih, Bapak sebagai kepala keluarga mengambil peran? Bukannya bicara dengan Adin sebelumnya, Bapak yang terimpit ternyata memutuskan buat menjual amek yang bukan miliknya tanpa persetujuan Adin. Sayangnya, sikap ini tipikal. Tidak susah kan menemukan bapak-bapak di sekitar kita yang gaya komunikasinya agresif? Tokoh Bapak ditampilkan dalam potret laki-laki yang yakin bahwa dirinya superior. Saking yakinnya, dominasi yang Bapak miliki tidak serta merta luntur meski ia sudah menganggur selama 5 bulan.

Adalah jurus defense mechanism andalan yang Bapak keluarkan ketika Adin menantang sikap otoritatif Bapak. Gaslighting dilancarkan dalam tudingan “Kamu pasti malu punya Bapak kayak gini? Iya kan?Ada juga guilt-tripping dalam kalimat Kan kamu tahu uang kontrakan nunggak.” seolah itu merupakan tanggung jawab Adin. Serta, dalam ratapan ala-ala “Ya Allah maafkan aku ya Allah. Aku ayah yang malang!”. Kocak ya? Tapi ucapan-ucapan itu sempat membuat pertahanan Adin goyah. Dia sempat luluh dan bertanya berapa bagian yang dia terima dari penjualan hadiahnya. Sayang, bukannya memanfaatkan pengertian Adin, Bapak malah kompor lagi dengan menudingnya perhitungan seperti pedagang jambu!

Sebaliknya, kemunculan Ibu dibuat samar-samar di tengah perseteruan Bapak dan Adin. Ibu tampak baru masuk ketika Bapak tersudut. Ketimbang berargumen, kalimat Ibu dibuat lebih seperti timpalan. Kalau pembagian peran gender tradisional memberikan dominasi pada laki-laki, maka, buat perempuan, adalah subordinasi. Ini menjelaskan kenapa Ibu jadi penonton. Ledakan Ibu justru datang di akhir, ketika Adin menunjuk Bapak sebagai biang kerok penyebab kematian Adek. Tak disangka, Ibu turun ke lapangan dan langsung menabok Adin. Ini dia giliran Ibu unjuk gigi soal caranya coping. Karena ketidakmampuannya menentang superioritas kepala keluarga (dan kemiskinan yang menginjaknya), tak ada pilihan baginya selain mencurahkan semuanya pada pelipis si Kakak.

Di akhir, Adin nyengir menunjukkan gigi tanggalnya, sementara dari atas, Bapak merekamnya. Tidak ada air mata. Happy Girls Don’t Cry. Adin didn’t cry, Adin smiled. Menyelipkan call-back, vlogging itu berulang. Kali ini Bapaklah yang mencengkam kamera. Apakah nantinya di depan akan datang amek baru selagi pengendara motor random lainnya bersiap tancap gigi? Wah rahasia ilahi! Sekarang, mari kita putuskan saja; apakah benar, Adin yang tertabrak motor mendapat kualat karena fakir akhlak? Apakah benar, Adin–yang terpapar kehidupan indah influencer, sedangkan dirinya berada di keluarga miskin dengan relasi yang timpang, serta sedang berduka karena Adeknya baru meninggal–telah berlaku kurang ajar?

Januari 2022

--

--

No responses yet