Hilang dan Kekalnya Macondo

insideagiantseye
5 min readApr 21, 2020

--

foto nenek dari sini

“Sebab sudah diramalkan bahwa kota khayalan akan dienyahkan angin dan terhapus dari ingatan manusia tepat ketika Aureliano Babilonia selesai membaca perkamennya dan bahwa apa yang tertulis takkan bisa diulang sejak awal waktu sampai selamanya. Sebab bangsa yang dikutuk seratus tahun kesunyian tak akan memperoleh kesempatan kedua di bumi ini.”

Malam Minggu kemarin, tersiar pesan bahwa Senin sampai sementara waktu kuliah ditiadakan karena wabah. Waktu itu internet sedang ngadat, saya bingung mau melarikan diri ke mana. Kebetulan ibu mengirimkan tambahan uang seratus ribu sambil bilang, “beli vitamin dan buah-buahan, ya.” Jadi saya pesan suplemen buat menyumpal kegelisahan, sebuah buku cerita, sebagai dunia lain untuk waktu yang pusing. Sisa uangnya dibelikan semangka potong berwadah styrofoam. Makasih, ya, Bu. Uangnya sudah dimanfaatkan.

Buku yang transit dulu di bapak kos empat hari kemudian adalah One Hundred Years of Solitude terjemahan. Buku yang ditulis Gabriel Garcia Marquez, terbit pada 1967, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Djokolelono, terbit 2018. Buku sinting yang yang awalnya mau diberi judul The House itu dicicil dua bab demi dua bab menjelang tidur. Iya, saya lambat dalam membaca serta banyak meringis di beberapa bagian yang kocak. Mungkin lawak karena kejadian ngaco disampaikan penulisnya dengan datar saja. Salah satu peristiwa yang entah kenapa membuat senang dengan ceritanya adalah wabah tidak bisa tidur.

“Mereka memang telah terjangkit wabah tidak bisa tidur. Ursula telah belajar dari ibunya tetumbuhan obat-obatan, meramu obat dan menyuruh mereka semua meminumnya. Tapi tetap saja mereka tidak bisa tidur dan di siang hari mereka bermimpi sambil berdiri.”

Sehabis melewati bagian-bagian magis-lucu seperti itu, biasanya saya ambil jeda buat mengagumi betapa cemerlangnya pengarang (merangkap jurnalis) Kolombia yang memelopori aliran sastra realisme magis itu. Sehingga karenanya, ganjil-jenakanya monyet O dari Eka Kurniawan (meski ia ragu apakah ceritanya masuk kategori itu) bisa saya nikmati. Atau cerpen Glue Etgar Keret yang janggal dan getir. Sebagai pembaca pemula, referensi saya terbatas. Tapi bener deh, perasaan suka pada cerita-cerita semacam itu tidak dibuat-buat.

Cara Marquez menulis cerita yang membuat nyaris percaya bahwa kisahnya nyata itu rupanya diwahyukan oleh kakek (atau nenek)nya. Sewaktu masih di Aracataca, desa kecil yang mengilhami terciptanya Macondo dalam novel, kakeknya suka bercerita. Dongengnya ajaib, tapi dituturkan dengan ekspresi yang lempeng-lempeng saja, seolah seorang gadis terangkat ke langit adalah bagian dari keseharian.

“Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu sekali, ketika diajak ayahnya melihat es.”

Es, regu tembak, eksekusi, sore, dan ayah. Dengan untaian kata itulah cerita bermula. Menyelesaikan bukunya lalu kembali ke halaman depan lagi, rasanya nostalgis.

Novel yang jadi karya Marquez paling populer ini, menceritakan kisah jatuh bangun keluarga Buendia selama tujuh generasi. Sebelum masuk kalimat pembuka tadi, kita disodorkan pohon keluarga yang dengan belagunya saya abaikan karena dikira, seperti pengenalan tokoh di novel yang pernah saya baca, tidak saya perlukan. Anggapan itu tentu patah karena di tengah-tengah, saya mondar-mandir lagi ke bagan keluarga. Bagaimana tidak, ada puluhan orang bernama Aureliano dalam cerita. Sehingga ketika Aureliano yang satu ditembak mati, kalau tidak kembali ke sana, saya bakal pening kenapa Aureliano di halaman selanjutnya masih nongkrong santai di beranda.

Mengikuti alur seratus tahun, dengan 20 karakter di pohon keluarga (17 Aureliano dan bayi Aureliano tidak dihitung), dengan wabah, perang panjang, pembantaian perusahaan pisang, hujan lima tahun, kemarau satu dekade, buatmu seberapa mengurasnya itu? Di akhir, (spoiler allert!) Macondo hilang diterbangkan topan. Jadi apa artinya semua? Segala susah yang karakternya derita, setiap napas yang dihela anak-cucu Ursula yang tak satupun dari mereka bahagia.

Ursula hidup lebih dari seratus tahun. Selagi muda dan cantik, dia stres menghadapi suaminya yang demam teknologi. Sewaktu renta, tubuh lapuknya digotong-gotong sepasang cicit durhaka yang menganggapnya boneka. Dan Kolonel Aureliano Buendia yang batal dibedil, masih hidup beberapa lama lagi. Setelah istirahat dari perang, dia sibuk pada pekerjaan sia-sia, yaitu mengukir dan meleburkan ikan masnya berulang-ulang. Sampai dia meninggal di suatu sore di bawah bayang-bayang pohon. Alur hidup keduanya itu menimbulkan pertanyaan sok, lantas apa arti hidupnya? Kenapa keduanya serta semua karakter dalam cerita mesti ada? Kenapa kita sebagai pembaca tercipta?

Teng nong, misi, serangan krisis eksistensinya, Teteh, Aa~

Ada satu fase, Jose Arcadio Buendia, godfather dari keturunannya yang sengsara, sadar bahwa waktu tidak pernah berlalu dan dia bersikeras akan pernyataannya itu hingga frustrasi dan menghancurkan barang-barang di rumah. Diikatnya dia di batang pohon kastanye karena semua orang sepakat dia gila. Padahal orang lain belum tentu waras. Apa benar waktu bergerak terus seperti yang kita percaya? Kalau begitu, kenapa kita yang berada di rodanya tidak beralih maju? Kenapa kita tidak bosan-bosan buat membikin kesalahan yang sama?

Mulanya, seperti yang juga umum dipahami sekarang, waktu bersifat mutlak. Kemudian, ketika dipahami juga bahwa waktu relatif, terdapat pengertian alternatif. Yang mana disepakati juga oleh Arcadio Buendia, satu-satunya orang yang tersadar di Macondo. Mendefinisikannya lagi, waktu adalah akibat dari terjadinya perubahan, bukan karena ia sendiri berjalan. Waktu berjalan karena pergantian siang dan malam. Karena kaktusmu membusuk. Karena rambutmu memanjang lagi. Karena kamu berpindah dari pangkuan ibumu dalam mukena yang hangat ke ubin kosan yang dingin, sendirian, ketika pandemi, terikat kuliah.

Namun, kita berubah sekaligus mentok seperti tiap anak bernama Aureliano yang pacaran inses dengan bibinya. Itu terjadi terus dari generasi ke generasi Buendia. Kita menua sekaligus jalan di tempat seperti penolakan Amaranta terhadap setiap laki-laki yang dicintainya. Hidup seolah jalan memutar yang sejauh apapun kita melangkah, kita tetap tidak kemana-mana.

Melihat diri sendiri, saya tak ubahnya ibu semasa muda. Ada kesialan serupa yang sama-sama kami jumpai. Seingin apapun menjauhi kemiripan itu, saya tidak pernah kemana-mana. Bak Aureliano terakhir yang diterbangkan angin, kehidupan ibu akan selesai. Mungkin dia akan hidup beberapa waktu di ingatan anaknya (tentang betapa baiknya ia mengirimi uang tambahan), tapi pada akhirnya tubuh dan benak saya juga akan membusuk. Kami tenggelam dalam ketidakberadaan. Lalu yang tersisa, kalau saya punya anak, hanyalah siklus itu.

Perputaran yang dirayakan terus menerus oleh para pemain dalam buku One Hundred Years of Solitude kadang bikin gregetan sampai ingin bilang wei, kemarin bapakmu udah begitu juga, jadi hidupnya sial. Kamu belajar dari masa lalu dong. Namun apakah itu murni kesalahan mereka, apakah mereka benar-benar sadar melakukannya?

--

--

No responses yet