Mata yang Gemerlapan - Etgar Keret
Ini kisah tentang seorang gadis kecil yang menyukai benda-benda yang bergemerlapan lebih dari apapun di dunia. Dia memiliki gaun yang gemerlapan, sepatu balet yang gemerlapan, dan boneka berkulit hitam bernama Christie, seperti nama pembantu mereka, yang gemerlapan. Bahkan gigi anak itu dibuat jadi gemerlapan, biarpun ayahnya bersikeras bahwa giginya itu hanya berkilauan. Keduanya berbeda. “Gemerlap,” anak itu menggumam pada dirinya sendiri, “adalah warna para ibu peri, warna terindah dari warna-warna lainnya.” Pada hari kemerdekaan di sekolah, Make-Believe, gadis kecil itu berkostum ibu peri. Dia menghamburkan bubuk gemerlap pada siapapun yang menghampirinya, dan bilang kalau itu adalah taburan impian. Kalau kamu mengaduknya dengan air, mimpimu akan terwujud, dan kalau mereka saat itu juga langsung pulang dan mengaduknya dengan air, maka mimpi mereka juga akan jadi kenyataan. Kostum anak perempuan itu tampak meyakinkan dan berhasil menjuarai perlombaan kostum. Gurunya, Lily, berkata bahwa seandainya dia belum pernah kenal muridnya itu lalu mereka berpapasan di jalan, dirinya sudah pasti akan mengira anak itu ibu peri sungguhan.
Ketika gadis kecil itu tiba di rumahnya, dia menanggalkan kostumnya, berdiri dengan hanya mengenakan kancut dan kaus dalam, menghamburkan semua bubuk gemerlap ke udara, dan berteriak: “Aku ingin mata gemerlapan!” Teriakannya sangat kencang sehingga ibunya buru-buru mendatanginya untuk memastikan putrinya baik-baik saja. “Aku ingin mata yang bergemerlapan,” kata gadis kecil itu, kali ini dengan suara pelan, lalu mengatakannya terus-terusan selagi dia mandi, dan masih setelah itu, waktu dia dihanduki dan dipakaikan piama oleh ibunya. Tapi matanya masihlah mata yang sama. Begitu hijau, begitu cantik, tapi tidak gemerlapan. “Dengan mata yang gemerlapan, banyak hal yang bisa kuperbuat.” Ujarnya, mencoba membujuk ibunya, yang tampak hampir kehilangan kesabaran. “Aku akan bisa berjalan di jalan raya pada malam hari, dan pengemudi mobil akan mengamatiku dari kejauhan. Dan ketika aku beranjak dewasa, aku akan bisa membaca di kegelapan dan menghemat banyak pemakaian listrik. Dan kalau Ibu kehilangan aku di bioskop, Ibu akan langsung menemukanku tanpa perlu minta bantuan petugas. “Omong kosong apa, sih, mata gemerlapan ini?” Pungkas ibunya sambil mengeluarkan sebatang rokok. “Nggak ada hal semacam itu. Kamu kepikiran mata-mataan ini dari mana?” “Beneran ada kok!” teriak gadis cilik itu, lalu dia melompat-lompat di kasurnya. “Ada! Ada! Ada! Dasar, Ibu kan harusnya enggak merokok di dekatku! Enggak baik buat kesehatanku.” “OKE.” Kata ibunya. “OKE. Lihat tuh, rokoknya aja belum dinyalain.” Dan dia menarik rokoknya kembali. “Sekarang ayo siap-siap tidur kayak anak nurut. Kasih tau Ibu siapa yang ngoceh soal mata gemerlapan ini. Jangan bilang dari gurumu yang gembrot itu?” “Dia nggak gembrot,” kata gadis kecil itu, “dan bukan dia yang ngomong. Enggak ada yang ngomong soal mata gemerlapan ini ke aku. Aku lihat sendiri kok. Ada anak cowok dekil di sekolahku dan dia punya mata yang bergemerlapan.” “Siapa namanya?” Gadis kecil itu menaikkan bahu. “Nggak tahu. Dia dekil, pendiam, dan selalu duduk di ujung kelas, jauh dari anak-anak lain. Tapi, betul, Bu, matanya bergemerlapan. Dan aku juga ingin punya mata itu.” “Ya udah kalo gitu, besok tanya anaknya, dia dapet mata gemerlapan itu dari mana,” usul ibunya, “kalo udah tahu, kita pergi ke tempatnya, nyari buat kamu juga.” “Terus sekarang ngapain?” “Sekarang, tidur dulu,” kata ibunya. “Ibu mau merokok di luar.”
Besoknya, gadis kecil itu meminta ayahnya mengantarkanya ke sekolah TK pagi-pagi sekali karena dia sudah tidak sabar. Ingin ditanyainya anak laki-laki dekil itu di mana dia memperoleh matanya yang bergemerlapan. Tapi kedatangannya yang lebih awal itu percuma karena anak laki-laki dekil itu adalah anak yang terakhir datang dari semua orang. Dan hari ini dia bahkan tidak terlihat dekil. Bajunya memang kelihatan tua, berbercak noda, tapi dirinya tampak seakan sudah mandi dan seseorang telah menyisiri rambutnya. “Bilang padaku,” ujar gadis kecil itu, muncul di hadapannya tanpa ragu-ragu, “dari mana kamu dapet mata yang bergemerlapan semacam ini?” “Secara nggak sengaja,” jawab anak laki-laki yang rambutnya hampir tersisir rapi itu, merasa tidak enak. “Mataku jadi begini sendiri.” “Terus gimana caranya biar mataku juga bisa bergemerlapan sendiri?” gadis kecil itu meringis. “Kayaknya kamu harus sampai gila menginginkan sesuatu, dan ketika apa yang kamu ingin itu nggak jadi-jadi, matamu akan mulai bergemerlapan. Yah, kayak gitu.” “Itu bego,” kata gadis kecil itu, mulai kesal. “Denger, aku sampe gila ingin punya mata gemerlapan, dan itu nggak kejadian, terus kenapa mataku nggak bergemerlapan seperti matamu?” “Aku nggak tahu,” kata anak laki-laki itu, menciut karena gadis kecil itu marah. “Aku cuma tahu tentang diriku, enggak tahu tentang orang lain.” “Oh maaf aku tadi teriak,” gadis kecil itu menenteramkan hati anak itu, menyentuhnya dengan tangan mungilnya. “Kali aja cuma ada hal-hal khusus yang harus kita inginkan. Jadi apa yang kamu inginkan sampai gila tapi nggak dapet-dapet?” “Seorang anak cewek,” anak laki-laki itu tergagap . “Buat jadi pacarku.” “itu aja?” gadis kecil itu berseru. “Tapi kan itu gampang. Bilang padaku siapa anak ceweknya, aku bakal bikin dia jadi pacarmu. Terus kalo nanti dia nggak mau, bakal kubuat biar nggak ada lagi yang mau ngomong sama dia.” “Nggak,” kata anak laki-laki itu. “Aku terlalu malu.” “Ya udah deh,” ucap gadis kecil itu. “Nggak penting. Lagian, nggak akan nyelesain masalahku atau bikin mataku gemerlapan. Hal kayak gitu nggak bakal terjadi padaku. Kalo aku ingin seseorang jadi pacarku, orang itu pasti mau, karena semua orang ingin jadi pacarku.” “Kamu,” kata anak laki-laki itu mengaku. “Aku ingin kamu jadi pacarku.”
Selama beberapa detik, gadis kecil itu terpaku karena anak lelaki dekil itu telah mengejutkannya. Kemudian disentuhnya lagi anak lelaki itu dengan tangan kecilnya, dan dia menjelaskan, dengan suara yang biasa digunakan ayahnya ketika mendapatinya mengacir ke seberang jalan atau mencoba menyentuh benda menyetrum. “Tapi aku nggak bisa jadi pacarmu, karena aku sangat pintar dan dikenal. Sedangkan kamu cuma cowok dekil yang pendiam dan duduk di ujung kelas, jauh dari anak-anak lain. Satu-satunya hal yang menarik dari kamu ya mata gemerlapanmu itu, dan bahkan itu bakal hilang sekarang seandainya aku terima kamu jadi pacarku. Walau begitu, harus kubilang, hari ini kamu enggak sedekil biasanya.” “Aku mengaduknya dengan air,” anak lelaki yang tak-sedekil-biasanya itu berterus terang, “untuk membuat impianku jadi kenyataan.” “Maaf,” ucap gadis kecil itu, kehabisan kesabaran, dan kembali ke bangkunya.
Sepanjang hari tersebut, gadis kecil itu merasa murung. Dia menyadari matanya tidak akan bisa bergemerlapan. Dan tak ada cerita atau lagu atau acara atau apapun yang bisa membuatnya merasa baikan. Kapan ataupun nanti, ketika dia hampir berhasil untuk tak memikirkan keinginannya lagi, dia akan melihat anak lelaki itu di pojokan TK, diam-diam menatapnya, dengan gemerlap matanya yang makin riuh, seakan diramaikan dendam.
Catatan
Glittery diterjemahkan jadi gemerlapan
Sparkling diterjemahkan jadi berkilauan
Talking diterjemahkan jadi ngoceh (tentang mata gemerlapan)
Apologized diterjemahkan jadi dengan tidak enak (mengatakan sesuatu)
Wants something an awful lot diterjemahkan jadi sampai gila menginginkan sesuatu
Glittering more fiercely diterjemahkan jadi gemerlapnya makin riuh
Tentang hari kemerdekaan Israel https://www.aish.com/j/fs/Yom-HaAtzmaut-Traditions.html?mobile=yes
Terjemahan dari Glittery Eyes, dari kumpulan cerita Nimrod Flipout, Etgar Keret. Diterjemahkan dari Hebrew ke Bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger. Dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia olehku. Semoga kalian tadi nikmatin!