Pale Blue Eyes

insideagiantseye
3 min readOct 9, 2021

--

Ketika pundaknya mulai terasa nyeri lagi, Pinkan beringsut dan berbaring. Diletakannya sekaleng cincau dingin di kening dan dipejamkannya mata. Punggung kaki kanannya yang gatal diusap-usap telapak kaki yang lain. Kelopak matanya berderak-derak, bilur air dari kaleng menelusup ke sana. Dia meraih ujung kaus dan diusapnya lelehan itu. Kaleng cincau diturunkan, dia tepejam lagi, lalu mulai menggumamkan sesuatu yang rupanya sebuah lagu.

Kadang-kadang, dia berpikir ingin mendaftar kursus. Ingin sekali dia bisa bernyanyi. Selain untuk mengisi waktu senggangnya yang panjang sesudah berkegiatan seharian, dia ingin bisa melakukannya buat sekadar menghibur diri. Walau tidak tahu apa-apa soal musik, Pinkan ingin bisa mengecap kecutnya Pale Blue Eyes yang keluar dari lidahnya sendiri, yang kian asam waktu tidak mampu menujukan liriknya pada seseorang. Lagu itu, pertama kali diperdengarkan oleh tetangga di sebelah kamarnya yang telah pindah. Seterusnya Pinkan lah yang gantian memutarnya.

Jam sebelas malam. Jendela dibuka meski udara kering di luar. Kamar-kamar di sebelahnya tak lagi berpenghuni. Sunyi sekali, dia bisa dengan jelas mendengar dengus napas sendiri. Tidak hujan, tidak berangin, dan tidak ada yang bisa dilakukan. Sudah 4 hari ponselnya mati. Terjadi secara tiba-tiba, ketika seperti biasa ingatannya yang hanya berupa apa-apa yang terjadi dalam layar ikut terhenti.

Dia terlalu keras berusaha agar pikirannya selalu diisi sesuatu. Tapi tidak oleh buku-buku. Meski berjejalan di rak, mereka tidak lagi diindahkannya. Dia sudah selesai membaca sebab tidak seorangpun bisa diajak bicara tentang itu. Melakukannya sama saja seperti mengenang kemudahan masa kecil, menyenangkan tapi cuma buang-buang waktu.

Belakangan, dia menghabiskan malam-malamnya dengan menonton serial TV di internet. Semua orang bisa diajak mengobrol soal itu. Kapanpun, bahkan selagi menonton filmnya. Dari mata Pinkan, layar komputer dan telepon tumpang tindih. Itu dilakukan sampai pening dan mengantuk. Jeda sedikit saja bisa membuatnya meringis. Dan sekarang telepon, internet, serta serialnya mati. Kelewat banyak jeda. Ombak itu mulai menyapu tepi jiwanya. Tukang servis di toko menjajikannya lusa. Pinkan mengerang.

Saat seperti inilah yang Pinkan takuti akan terjadi. Absennya distraksi membawa kembali perasaan itu dengan wujudnya yang nyata. Perasaan ini sudah seabad lalu bersarang dalam dirinya. Dia rasa, seolah ada padang dalam diri setiap orang, dan miliknya sudah jadi jurang. Jurang yang terus melebar. Seakan ke dalam diri sendiri, dia bisa jatuh kapan saja dan tertelan.

Meski begitu, dia menolak mengakui perasaan semacam itu. Menolak mengakui bahwa dirinya sudah ditinggalkan. Mereka yang sempat dekat menjauh akibat ketakutannya sendiri. Dia memang orang yang berusaha membuat percakapan, tapi jauh di dalam, dia takut kalau mereka jadi lebih dekat dan mengacaukan hidupnya. Takut kalau orang lain berkunjung ke tempatnya tinggal dan hapal kebiasaannya. Kalau seseorang mengorek inti dirinya dan menertawakannya.

Seekor kucing milik penyewa rumah merayap ke tempat sampah di depan kamar dan bertengkar dengan plastik, menimbulkan suara keresak yang berisik. Pinkan mengutuk karena itu menjadikannya makin sulit tidur. Menjadikan perasaan ini makin kuat dan menguasainya. Kadang, di waktu-waktu yang lebih mudah, dia heran kenapa pernah berpikir buat bunuh diri.

Rupanya pikiran itu masih ada di sudut kepalanya. Memang tak tertahankan. Kiranya dia tidak ingin berumur panjang kalau hidup ialah kotak kosong berbungkus kotak kosong, berbungkus kotak kosong, berbungkus kotak kosong…….

Tapi tentu, waktunya bukan sekarang. Nanti pagi ada hari yang lain lagi. Hari buat dia menemui orang lain, melihat sejentik cahaya, dan melupakan jurang itu.

Setelah menghabiskan cincaunya yang tidak lagi dingin, erangannya padam, Pinkan akhirnya tertidur. Lampu kamar dia biarkan menyala. Di dinding ada kalender tahun lalu, kertas-kertas dengan daftar film yang harus dihabiskan, dan salinan lirik lagu Pale Blue Eyes. Di lantai, teronggok kaleng yang kopong bagai jiwanya. Manis yang tertinggal mengundang semut-semut hitam beredar, menyaru di rambut lepeknya, lalu merambat ke leher, letak yang paling sering dia pikirkan buat memutus perasaan yang melahapnya dari dalam.

Kucing semalam kembali ke tempat sampah dan dengan ceroboh menenggelamkan diri dalam timbunan benda, dari kotak teh hingga kumpulan rambut. Si kucing mengeong marah dan amukannya membangunkan Pinkan dari tidur yang pengap. Dia lega sekarang sudah pagi. Pundaknya sudah tidak begitu nyeri.

Pinkan bangun, meraih sampo di tas belanja, kemudian bergegas ke kamar mandi. Di dalam dicobanya menyanyikan Pale Blue Eyes tapi kemudian menyerah di larik ketiga. Keluar dari sana, dia mengeringkan rambut sebelum menyisirnya. Sebelum bersiap, mengunci pintu, lalu pergi. Sebelum sadar hari sudahlah Sabtu dan dia menggigit pundak kirinya sampai biru.

Januari 2020

--

--

No responses yet